Keringat, lelah, uang, anak-anak, sesal akan keadaan, itulah yang ada difikiran beliau. BUKAN memikirkan sesuatu yang lebih seperti liburan, punya kendaraan yang nyaman, rumah yang indah atau pendidikan yang tinggi. Lagi-lagi BUKAN mereka tidak mau untuk memikirkan itu tetapi beliau tidak berani untuk memikirkan semua itu. Tidak terhitung berapa banyak orang-orang yang bernasib sama seperti beliau.
Di sore itu sepulang dari kampus, lelah rasa nya, mungkin sama lelahnya dengan beliau para pengayuh becak di hadapanku. Rumah kost ku lumayan jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki, sebelum aku naik becak aku berhenti di depan deretan becak-becak beserta punggawanya sambil memikirkan becak mana yang akan ku naiki, aku selalu memilih becak dengan punggawa yang kira-kira berumur paling tua.
“permisi pak, ke pandawa 5 ya”, aku duduk sambil terus berfikir jauh, apakah beliau senang dengan pekerjaannya ini? Apakah keluarganya tercukupi? Apakah beliau pernah merasakan menjadi pelajar seperti apa yang aku rasakan sekarang? Apakah beliau pernah merasakan nyamannya naik becak? Rasa penasaranku mengadakan perlombaan lari cepat dari otakku menuju mulutku, “maaf pak kalo bole saya tahu, bapak sudah berapa lama menjadi tukang becak?”, beliau tersenyum kecil entah apa maksud senyumannya itu “ bapak sudah 32 th neng jadi tukang becak” WAW!! Sudah lama sekali aku menebak-nebak usia beliau sekarang sekitar 62 th. Ku lanjutkan rasa penasaranku “ Dulu bapak sempat sekolah?” sedikit tidak enak hati sebenernya menanyakan hal ini, “iya ndok dulu bapak sekolah sampai SMP” seperti apa yamasa lalu nya dulu. “maaf bapak, saya bole mengayuh becak bapak sampe kosan saya? Lalu bapak yang duduk manis di depan” rasa ingin tahuku menyuruhku untuk mencoba merasakan bagaimana pekerjaan bapak mengayuh becak. “ah neng ada ada saja, tidak usah neng biar bapak saja” aku terus merayu dan akhirnya kudapatkan becak itu.
Tuhaaaaaaaaaaaaaaaan berat sekali kakiku mengayuh, lalu bapak yang sudah tua ini harus melakukannya setiap hari?, beliau terlihat sedang membaca buku yang tadi aku tenteng dengan tanganku yang ku taruh di jok becak, terimakasih tuhan beliau tersenyum sama dengan senyumku. “gendok seng ayu, belajar yang bener biar bisa mengangkat derajat orang lain,kalo waktu bisa diputar bapak mau berusaha lebih keras lagi agar jadi orang sukses, tapi sekarang bapak sampun tua jadi pasrah mawon dan maturnuwon Allah maringi kesehatan sama bapak” subhanallah ternyata benar semua masa depan dikejar ketika masa muda.
Ku berhentikan becak tua itu di depan gerbang rumah kost ku, sudah sampai, ku keluarkan uang 5000 menandakan bahwa aku sudah sampai tujuan. “terimakasih pak” beliau sebenarnya enggan menerima uang dariku namun aku yakin beliau bersusah payah mengumpulkan pundi2 rupiah “iya ndok ayu sama sama ya”. Beliau berlalu dengan gaya khasnya yang mengelap keringat di kening dengan anduknya yang tua juga. Terimakasih tuhan engkau memberiku nilai-nilai kehidupan dimanapun tempatnya,dan kali ini bukan dari professor,dosen,atau teman, tapi dari seorang tukang becak J.
0 comments:
Post a Comment